Kerinduan itu filosofis
Setiap manusia yang normal pasti pernah merasakan rindu, sekecil apapun nilai kerinduan itu. Aku pun sama, aku adalah manusia normal sehingga aku pun pasti pernah merasakan rindu.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan rindu?
Aku mengartikan rindu sebagai sebuah rasa ingin bertemu atau sebuah kebutuhan akan kehadiran. Pendifinisan ini mungkin terlalu sempit bagi sebagian orang. Biarlah, aku pikir itu sudah cukup mewakili apa yang aku rasakan sendiri.
Apa yang aku tulis disini adalah rindu kepada seorang lawan jenis, lebih jelasnya seorang kekasih. Oleh karenanya lingkup rindu dalam tulisan ini terasa semakin menyempit saja. Mungkin ada orang lain yang protes karena rindu itu tidak lah harus kepada seorang kekasih, tetapi juga bisa kepada siapapun, termasuk Tuhan, nabi, surga, pemimpin, orang tua, saudara, teman, guru, atau siapapun juga. Bahkan, rindu dapat pula dirasakan terhadap sesuatu yang immateril, seperti rindu akan kebaikan, rindu akan keadilan, rindu akan ketenangan, dan lain sebagainya.
Bukan masalah, aku ingin memfokuskan pada rindu kepada seorang kekasih, karena itu lah yang paling mendominasi apa yang biasa aku rasakan. Bahasa lebih gaulnya, kangen.
Bermula dari Cinta
Rindu, sebagaimana yang aku rasakan, selalu berawal dari cinta. Dalam keyakinanku, cinta selalu lahir terlebih dahulu, baru kemudian rindu lah yang mengikutinya.
Cinta adalah induk dari rindu, atau rindu merupakan turunan dan cinta, meski pada akhirnya, keduanya akan menjadi satu kesatuan rasa.
Ruang cinta, adalah lebih luas daripada rindu. Rindu hanya merupakan bagian dari cinta. Namun, sebuah cinta tidak akan lengkap jika tidak diiringi dengan rindu.
Dipisahkan oleh Jarak dan Waktu
Rindu adalah perasaan ingin bertemu. Rasa ingin bertemu muncul dari terpisahnya seseorang dari orang yang ingin ditemuinya. Ini berarti ada jarak yang memisahkan keduanya. Entah itu dalam ukuran beberapa meter saja atau bahkan hingga ribuan kilometer. Sedang waktu merupakan ukuran berapa lama seseorang itu tidak bertemu dengan kekasihnya.
Jika dianalogikan dengan reaksi kimia pada ruang tertutup, cinta dibaratkan sebagai pereaktor, rindu merupakan hasil reaksi, jarak dan waktu merupakan katalisnya, sementara ruang tertutup merupakan sebuah jalinan hubungan (dalam bentuk pernikahan atau pacaran).
Semakin jauh jarak seseorang dan semakin lama waktu memisahkan, maka semakin cepat pula reaksi cinta untuk menghasilkan rasa rindu. Jika rasa cinta itu bertambah, maka dengan sendirinya kekuatan rindu itu bertambah pula. Sebaliknya, jika rindu bertambah, maka secara otomatis bertambah pula rasa cinta seseorang. Pada akhirnya, keduanya akan mencapai titik kesetimbangan tertentu yang aku namakan dengan “kesabaran”. Begitulah prinsip kesetimbangan reaksi antara cinta dan rindu dalam pandanganku pribadi.
Kesabaran
Obat dari rindu tentu saja adalah pertemuan. Tapi, apa daya jika pertemuan tersebut sulit untuk terlaksana? Kesabaran adalah pilihan bijak.
Kesabaran merupakan titik tertentu dimana antara cinta dan rindu mencapai sebuah kesetimbangan. Itu lah puncak dari reaksi cinta dan rindu yang paling bijak menurutku. Tanpanya, cinta dan rindu justru akan rusak, jalinan hubungan pun kemungkinan kandas.
Berkali-kali aku merasakan rindu yang sangat mendalam kepada seseorang dan pada akhirnya aku justru tunduk pada kesabaran itu. Hingga kemudian aku menyadari bahwa ternyata kesabaran itu lah yang menjadi puncak pergelutan hatiku. Aku bersyukur, kerinduan yang aku rasakan selama ini bisa berpuncak kepadanya.
Aku seringkali mendengar cerita rekan-rekanku perihal hubungan mereka dengan kekasih mereka masing-masing. Banyak diantara mereka yang terpisahkan jarak dan waktu dan terbelenggu dalam kerinduan, tak mampu memuncaki kesabaran. Hasilnya, rindu yang seharusnya bisa menguatkan cinta, justru menjerat mereka dalam amarah dan buruk sangka hingga berakhir pada rusaknya hubungan mereka. Cukup banyak diantara mereka yang memutuskan hubungan dengan alasan terpisahkan jarak. Mereka itu lah yang tidak mampu mencapai sebuah kesetimbangan bijak atas reaksi yang muncul dari dalam hatinya. Mereka itu lah yang tidak mampu memuncaki kesabaran.
Begitulah tentang rindu menurutku. Berawal dari cinta, berlangsung dalam sebuah ikatan tertutup, dikataliskan oleh jarak dan waktu, dan mencapai titik kesetimbangan dalam bentuk kesabaran.
Entahlah… Setiap orang boleh mendeskripsikan rindu dengan alur yang berbeda. Yang pasti, aku bahagia masih sering merasakan rindu, meski kebanyakan hanya berujung pada kesabaran.
Kesabaran, itu lah puncak terbaik dari pergelutan cinta dan rindu, dengan segala reaksi yang terjadi padanya.
Komentar
Posting Komentar